My Time for You

By time goes by and I become older, I change my perspective toward valuable and meaningful lifestyles. Study had always become my priority which came after contributions I gave for others. But, those priorities broke my self a part as societies made them as achievement and benchmark of success. Experience and life teach me that I should dig deeper to understand what and why I live.

So, now, what value the most for my self is my time for my significant people and things that I fighting for.

Time well spent with my sibling~
Continue reading

Gathering Guts

One afternoon, my little sister suddenly call me. Out of nowhere, she (they – please check their blog too; Intan and Anisah) asked me to make a writing challenge to help them practicing their writing skills. So, this is it. My first post for Dzulhijjah’s Gratitude Writing Challenge.

Dzulhijjah? Yes, you read it right. This two hijr years, we face a lot of things. We couldn’t having Ramadhan, ‘Id Fithr, and ‘Id Adh in usual way. But there are a lot of this to be grateful of. By the end of this hijr year, I think we should put more effort to put syukr in every aspects of our life. So, here we are!

PS: I invite you to join this challenge! cc: https://kentangkukus.wordpress.com/ dan https://dewipuspitasarisite.wordpress.com/

***

For this one semester, pandemic and study stress me out a lot! My courage and grit, gradually, faded away and lost. I feel strange and unfamiliar with my own self. Becoming timid, coward, fragile.

I choose to step away and read this amazing book, Guru Aini. Another masterpiece from Andrea Hirata. In my opinion, Guru Aini has similar vibes with Laskar Pelangi. Guru Aini deserves the same respect!

Merasa terhormatlah mendapat soal yang sulit, karena soal yang sulit akan mengeluarkan yang terbaik dari kita. Lalu tempur! Tempur semua kesulitan itu! Jangan mundur! Jangan sedikit pun mundur!

Guru Desi say to Aini
Continue reading

Saya (ingin) Menyerah

Menulis judul post ini dan tulis-hapus-tulis-hapus-tulis-hapus yang tanpa akhir membuat saya merasa biru. Saya tak yakin akan memencet “publish” di pojok kanan atas. Saya khawatir saya akan benar-benar menyerah jika melakukannya.

Perjalanan studi memang tidak pernah mudah, mulus, dan lancar-lancar saja. Saya yakin, hal itu terjadi pula pada Maudy Ayunda, Tasya Kamila, ataupun banyak teman yang aktif di media sosial dan sering kali mengupdate tentang kondisi dan pencapaian studinya.

Perjalanan studi pascasarjana yang rumit ini diperparah dengan adanya pandemi.

Jatuh, tersungkur, terjungkal, tertimpa duren beserta tangganya. Payah, lelah, yang bahkan, untuk berteriak minta tolong pun saya tak mampu.

Satu tahun pandemi yang membuat, maju-mundur, jalan di tempat ini membuat saya lelah amat parah. Burn out. Menyalakan laptop dan membuka file tesis tidak membuat serta-merta tulisan saya bertambah.

Membaca jurnal. Meng-highlight beberapa bagian. Merangkum. Menuliskannya dalam file. Menghapus kembali. Membaca lagi. Meng-highlight lagi. Menulis lagi. Menghapus lagi. Berulang.

Revisi yang telah dikirim, kembali dengan catatan yang sebelas-dua belas dari sebelumnya. Tidak ada kemajuan, tidak ada bedanya. Kemudian, saya merasa tidak mampu, bodoh, tidak pantas berjuang.

Jika mengingat 5 tahun dimana saya mengupayakan belajar TOEFL di setiap malam, searching kesempatan beasiswa, menulis esai dan motivation letter, berkali-kali meminta surat rekomendasi pada dosen, mendaftar-tes-wawancara-ditolak yang berulang kali dilakukan layaknya lingkaran setan, rasa hampir mati satu tahun ini tidak ada apa-apanya. Tidak setimpal, tidak seimbang, tidak membayar kerja keras.

Jika mengingat kesempatan lanjut studi, ditambah beasiswa yang nyaman, saya merasa seperti orang yang teramat kufur dan tidak bersyukur. Satu semester lagi, beberapa langkah lagi. Sedikit, sebentar lagi. Studi ini tidak akan selamanya.

Semoga saya bisa menyelesaikan studi ini dengan sejahtera. Semoga studi ini selesai tepat waktu. Semoga saya tidak menyerah terhadap diri saya sendiri.

Doa’akan saya!

Jumping out from Comfort Zone

Seba’da menikah, ternyata saya mendapati diri saya (dan suami) mengambil keputusan-keputusan yang “nekad” dan tidak terpikirkan sebelumnya. Keputusan A, B, C yang kemudian membuat saya mendapati kondisi mental saya yang “surprise“. Mengelola keuangan dengan memikirkan masa depan keluarga sungguh lah berbeda dibandingkan saat mengelola gaji sendiri dengan gambaran masa depan sebagai lajang. Pertimbangan dan pola pikirnya sungguh berbeda.

Konyolnya, saya sedang berada di semester akhir studi magister profesi. Yang penuh dengan tuntutan tesis, publikasi, dan juga penanganan kasus beserta tumpukan laporan dan revisi. Rasanya semua tumpukan beban akan masa depan tiba-tiba longsor dan menumpuk di depan mata saya. Saya kaget dan tidak siap.

Kata suami, perasaan saya ini adalah perasaan khawatir karena sedang melompati zona nyaman menuju zona yang penuh kekhawatiran. Dari tempat yang nyaman dan aman menuju kondisi yang tidak saya kenali, kondisi yang tampaknya menggoncang kasur empuk PeWe yang saya tinggali.

Tugas yang ada di depan mata saya seperti monster yang siap menyantap dan menguliti diri saya. Saya tahu harus saya kerjakan namun saya tidak percaya diri, apakah saya mampu menaklukannya? Rasanya semua kemampuan dan ide-ide saya terbang dan lenyap layaknya disedot dementor yang menakutkan. Saya kehilangan sayap dan tiba-tiba menukik jatuh.

Kondisi ini tidak selamanya. Sementara, bahkan mungkin hanya sekejap. Mungkin beberapa bulan lagi, hal ini menjadi masa lalu yang menyenangkan. Dengan catatan: jika saya menghadapinya saat ini. Semakin saya takut dan kabur, siksaan ini akan bertahan lebih lama, lebih panjang, lebih menakutkan, dan tentu saja, lebih menyakitkan.

Saya harus terseret-seret dalam zona ketakutan ini supaya saya bisa segera masuk pada zona berkembang dan tumbuh yang menyenangkan, menantang, dan pasti, membuat saya berproses menjadi lebih baik.

Saya harus bersabar dan bertahan dalam ketidaknyamanan ini sebentar lagi. Menyelesaikan tugas-tugas dan berjuang sedikit lagi. Karena jika tidak, perjalanan yang sudah saya mulai dengan peluh dan air mata akan menjadi sia-sia.

Mari berjuang, teman. Apapun hambatan yang dihadapanmu, mari bersemangat untuk melaluinya. Mari melompat menuju growth zone yang kita dambakan!
Good luck!

Berjalan di Tempat

Satu semester yang tidak ada progres.

Jika kehidupan seharusnya terus berjalan maju,
saya merasa berjalan di tempat, berputar-putar.
Pusing. Membingungkan.

Masuk ke dalam labirin yang terbuat dari bongkahan ketakutan, tumpukan kegelisahan, dan kerikil-kerikil kecemasan yang semakin menjauhkan diri saya dari jalan keluar.
Saya menutup semua akses untuk bebas.

Saya tahu bahwa saya harus bergerak. Akan tetapi, gerakan kecil yang saya lakukan bukanlah kepakan sayap kupu-kupu. Tidak signifikan.

Kenyataan itu membuat saya kembali masuk ke dalam lubang yang saya gali sendiri. Terus menerus.
Saya terperosok semakin dalam. Semakin gelap.

Saya tahu, saya harus naik dan keluar. Namun, saya takut untuk mengulurkan tangan ke atas. Saya takut melongok ke arah matahari. Saya khawatir jika nanti yang saya dapatkan hanyalah kekecewaan yang semakin dalam. Kesengsaraan akibat kealpaan yang saya perbuat.

Saya ingin lari.
Saya ingin pergi.
Saya ingin menghilang.