Invisible Cage

I Know Why the Caged Bird Sing
— Maya Angelou

The free bird leaps
on the back of the wind
and floats downstream
till the current ends
and dips his wings
in the orange sun rays
and dares to claim the sky.

But a bird that stalks
down his narrow cage
can seldom see through
his bars of rage
his wings are clipped and
his feet are tied
so he opens his throat to sing.

The caged bird sings
with fearful trill
of the things unknown
but longed for still
and his tune is heard
on the distant hill
for the caged bird
sings of freedom

The free bird thinks of another breeze
an the trade winds soft through the sighing trees
and the fat worms waiting on a dawn-bright lawn
and he names the sky his own.

But a caged bird stands on the grave of dreams
his shadow shouts on a nightmare scream
his wings are clipped and his feet are tied
so he opens his throat to sing

The caged bird sings
with a fearful trill
of things unknown
but longed for still
and his tune is heard
on the distant hill
for the caged bird
sings of freedom.


Instead of being caged by society or rules, we are often being caged by our own perception. Could we break free from our fear of this invisible cage?

Let me close this beautiful poem with my favorite line in my favorite movie.

I fear neither death nor pain. A cage. To stay behind bars until use and old accept them and all chance of valor has gone beyond recall or desire.

Eowyn, Lord of the Rings

Pain and Sadness

아픔 과 슬픔도 길이된다
— 이철환

오래 시간의 아픔을 통해 나는 알게 되었다
아픔도 갈이 될수있다는 것을

바람 불지않는 인생은 없다
바람이 불어야 나무는 쓰러지지 않으려고
더 깊이 뿌리를 내린다

바람이 나무를 흔드는 이유다
바람이 우리들을 흔드는 이유다

아픔도 길이 된다
슬픔도 길이 된다


Pain and Sadness can also Become a Path
— Lee Chul Hwan

I realized this after a long time of pain
That pain can also become a path

There is no life where no wind blows
The wind must blows so that the tree will not fall over
Take deeper roots inside the earth

That’s why the wind shakes the tree
That’s why the wind shakes all of us

Pain can also become a path
Sadness can also become a path

PS: I first encountered this poem from Korean Drama with title “A Poem A Day”. Pain and sadness that we feel now may become a way for us to understand, become matured and wise.

Tengah Malam

Aku mendengar suara kipas serta angin yang berputar,
tangis yang lirih namun penuh kenestapaan,
dengkur yang pelan dan ritmis,
tetesan air dari keran yang tidak tertutup sempurna,
batuk yang meringkik dari paru-paru yang entah tergerus rokok atau TB,
guntur dan kilat yang mengawali hujan malam nan panjang,
deru motor dan teng-teng pak satpam yang sedang ronda.

Mata mengerjap, memandangi langit-langit yang gelap, secercah sinar lampu yang masuk melalui kisi-kisi ventilasi kamar.

Pikiran berkejaran, memaksa, menahanku dari kantuk dan tidur yang lelap.

Sudah malam.
Ayo istirahat.

Bau Kematian

Kematian yang Dekat

Pagi hari selalu meniupkan udara dan hawa yang segar. Seperti hari ini, dan hari-hari biasanya, matahari bersinar dengan hangat-hangat kuku, cahayanya masuk menyelinap diantara rimbun pohon mangga, dan jatuh diantara daun-daun kering yang aku sapu tiap pagi.

Sayangnya, hawa yang segar tidak serasi dengan bau yang kucium sejak subuh tadi. Aku kira hidungku mulai mampet karena musim penghujan sudah mulai berkunjung. Mengingat hampir setiap sore menjelang maghrib tubuhku selalu kuyup saat pulang dari kantor.

Bau anyir menguar. Tercium dalam hembusan angin yang terasa panas, juga diantara bau bacin keringat yang terakumulasi lelah setelah puluhan jam bekerja. Mungkin juga disarukan oleh wangi parfum lima ribuan yang dijual di pasar malam atau pasar pagi di akhir pekan.

Kata orang, sebelum mati, kita akan melihat pertanda. Entah hal mistis atau hal aneh yang mampir dalam keseharian. Bodohnya, setiap hariku adalah keanehan tanpa ujung, tanpa batas. Seperti tersandung batu di jalan lurus, menabrak pintu kamar di setiap pagi, atau bahkan hal sepele seperti menggigit lidah saat makan siang. Jika hal ganjil selalu mampir dalam keseharian, apakah bau kematian mengikutiku?

Pagi ini, seperti pagi-pagi biasanya, berita lelayu tersiar dari speaker masjid terdekat selepas subuh, saat aku tengah bersiap.
“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Telah berpulang fulanah binti fulan pukul 03.00 pagi, usia XX tahun.”
Aku terkesiap. Bukankah itu nama ibu yang saya sapa sore tadi selepas pulang dari kantor?

Duh, kematian yang dekat dan membayang.
Namun, bukankah kematian memang selalu dekat dengan setiap yang bernyawa? Seperti bayangan pada cahaya, seperti asap akan api.
Aku, Kamu, dan Kita semua pasti mati. Baik sekarang maupun nanti.

Day 30: the Book You’re Reading right now

Saya akan menutup rangkaian challenge ini dengan buku kumpulan puisi yang sedang saya baca karya Mochtar Pabottingi dengan kumpulan karyanya yang berjudul Konsierto di Kyoto.

wp-1588146715146.jpg

Berikut saya tuliskan satu puisi menarik dalam buku tersebut.

UNTUKMU BUNDA

Bunda, alangkah deras waktu berlalu
Membuat segala sosok bertukar rupa. Atau lumer
bagai salju

Kecuali rumah yang puluhan tahun engkau bangun
Bersama ayah. Di dalam kalbuku
Tempat jiwaku tetirah saban gundah

Rumah tempatku dulu bertumpu untuk melanglang
Bagai liang belalang di pohonan. Sebelum
ia mencelat ke padang-padang

Alangkah fana semua yang di sisi
Kecuali wajah, kerudung, dan tadarusmu. Yang terus
menyelimutiku dengan wangi kesturi

Di hadapanmu, Bunda, tetaplah aku anak balita
Dengan ubun-ubun rawan yang terus berdenyut
tanpa suara

Jauh dan tembus waktu


 

Terima kasih atas challenge yang membuat saya menulis di blog ini (hampir) setiap hari dalam satu bulan. Meskipun challengenya sudah selesai, semoga tetap bisa menulis dengan keistiqomahan seperti ini.

Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1441 H!